Jurnal Seorang Kopral

Hari ini adalah hari pertama saya mundur dari sebuah lembaga zakat yang cukup jadi barometer di Indonesia. Selama menjalani tanggung jawab kekaryawanan, sebenarnya posisi saya cukup nyaman sebagai ketua Infokom yang mengurus website dan desain grafis. Entah kenapa, justru ada banyak hal dimana saya merasa justru pertempuran antara batin dan realita saya terus terkoyak. Saya terus bertahan demi anak dan istri saya yang harus saya nafkahi.

Bekerja optimal tentulah bagian dari sebuah tanggung jawab yang bukan hanya bicara saat saya sebagai seorang karyawan, tapi juga sebagai seorang muslim. Namun sejak satu persatu saya menemukan tanda kutip dari situasi yang saya pahami tidak seharusnya seperti apa yang saya lihat, batin saya berontak walau jasad tubuh saya tetap berjalan menormalkan diri diantara zombie zombie ideologi ini.

Saat awal masuk masalah klasik hampir disetiap kantor kita hadapi terjadi juga ditempat saya ini. yaitu masalah kesejahteraan. Urusan gaji yang tidak cukup menjadi hot thread tingkat tinggi pembicaraan mulai dari ruang kerja hingga warung kopi ketika jam istirahat.

Hingga suatu waktu saya berhadapan dengan direktur saya, aneh justru orang yang cukup vokal mengeluhkan masalah gaji ini malah menyuruh saya diam, ketika saya ingin menanyakan langsung ke direktur permasalahan ini. Tapi saya bukan penjilat, saya menolak menjadi parasit lidah, yang menggigit saat tangan menjulurkan coklat, lalu menggigit jari si pemberi coklat saya coklatnya telah selesai, apalagi sampai menusuk dari belakang.

Hari itu pada rapat kerja tahunan kantor, sayalah orang pertama yang bicara masalah tidak cukupnya gaji yang diterima karyawan. Resikonya sudah pasti dicap buruk, diperlakukan buruk dan sebagainya oleh managemen kantor adalah resiko bahkan bisa jadi pemecatan.

Kenyataannya tidak, saya justru semakin akrab dengan direktur dan semakin mengerti kenapa gajinya segini dan segitu dan apa latar belakangnya. waktu terus berlanjut hingga saya mulai menghindari dari topik topik keluh kesah masalah gaji diantara para karyawan. Saya pikir, kewajiban saya sudah tuntas dan terpuaskan sejak menanyakan itu ke direktur jadi tidak perlu saya ikut jadi pecundang dengan terus menerus membicarakan itu dibelakang punggung managemen. Lebih baik saya fokus kepada peningkatan kualitas kinerja saya.

Kopral Atau Jenderal?

Menemukan beragam konflik mungkin sudah biasa di semua kantor, tapi menemukan suasana dimana tradisi ghibah akur dengan tradisi menjilat ini yang tidak wajar. kalau bahasa istri saya sederhana

"Mengeluh akan kecilnya gaji di sebuah kantor tapi tetap bekerja di kantor tersebut adalah sebuah kebodohan. Mencemooh pemimpin lembaga di belakang punggung lalu tersenyum saat di depan pemimpin tersebut adalah karakter penjilat.jika sudah tidak sejalan ya keluar saja, kenapa harus bertahan bekerja sambil mengghibah dan berkeluh kesah dibelakang punggung?"

Istri saya begitu takut saya ketularan virus ghibah diantara ragam watak yang suka menjilat. Diam terhadap kedzaliman, kalau mau kritis hanya dibelakang punggung saja. Ah inilah saya, terlalu sensitif jika hal prinsip hidup saya diganggu. Saya tidak bisa diam melihat kebatilan. bagi saya diam ketika melihat kebatilan berarti telah mendukung kebatilan itu sendiri.

Saya tidak pernah takut kehilangan pekerjaan, dan kini semakin bertambah umur justru grand design semakin matang. Satu bulan sebelum mengundurkan diri saya mempersiapkan usaha pribadi saya. Saya berkata kepada Allah "Ya Rabb inilah yang akan saya lakukan saya saya mundur dari kantor ini, saya ingin jadi bisnisman saja! saya ingin membuka lapangan pekerjaan saya tidak mau ada diantara kulturasi hipokrit ini"

Benar saja, sejak kontrak saya selesai budaya buruk dari kantor saya adalah menggantung kelanjutan kerja karyawanannya. Satu keuntungan dari budaya itu tentu saja, karyawan yang tetap bekerja tidak akan mendapatkan kejelasan akad baik masalah evaluasi kerja dan peningkatan gaji bulanan, yang akhirnya kantor bisa berbuat seenaknya kepada karyawan. Ini buruk dimata saya dan siapapun!

Ah..beragam masalah kompleks menghantui, salah satunya ketika saya mengecewakan sahabat saya Ades Satria untuk sebuah program sosial. Kaum Dhuafa yang telah dijanjikan bantuan dengan jangka waktu tertentu jadi molor berbulan bulan. Bahkan hingga saya keluar dari kantor tersebut masih ada program yang sudah saya survey dari bulan Juli yang belum terealisasi, betapa kasihannya para mustahik tersebut...

Ah Sudahlah..mari menatap kedepan. Kita telah belajar banyak dari hidup, sebelumnyapun kita sudah berhadapan dengan sisi sisi lain kebobrokan sistem disekitar kita. Hingga suatu ketika seorang karyawan mengolok - olok saya dengan berkata bahwa saya hanya seorang kopral yang sok merasa jenderal. Hati saya tersenyum sumringah. Karena orang itu pasti lupa, ketika seantero makhluk disekitar saya melakukan apa saja dengan memasang muka manis untuk akses menuju zona nyaman dan kenaikan karir demi sebuah status jenderal. Maka saya lebih memilih menjadi kopral saja.

Percuma menjadi seorang jenderal tapi bermental kopral, bahkan seorang kopral akan jauh lebih gentleman karena ia memiliki mental jenderal. Sia - sia kita memiliki kekuatan dan posisi namun kita hidup semua dengan kompromi kebatilan bahkan kita sengaja menutup mata dan memilih terbiasa dengan kebatilan tersebut. Saya tak pernah takut kehilangan pekerjaan, tapi saya takut kehilangan ketegasan dalam kepala saya. Tegas untuk berkata tidak pada kebatilan, kedzaliman dan segala sesuatu yang mungkin mulai mendarah daging didalam diri masyarakat ini. Betapa "basahnya" hidup diantara sirkulasi perputaran dana amanah zakat dinegeri ini. saya hanya mengeluarkan satu kata ketika melihat banyak fakta yang tak bisa saya jelaskan satu persatu disini selain hanya bisa berkata "GILA!"

Sungguh saya berterima kasih kepada para sahabat yang telah memotivasi saya untuk memiliki keutuhan komitment. Untuk tegas membangun keberanian, bahwa kita harus paling anti terhadap perilaku yang mengatasnamakan kemanusiaan & rakyat, jika itu semua cuma retorika dibibir kita yang basah, tanpa sedikitpun terenyuh hati kita akan nilai kemanusiaan itu sendiri, bahkan ketika ludah dibibir ini semakin mengering. Betapa dzalim diri ini sa'at mempertahankan perut dengan jalan mengusung propaganda kemanusiaan, padahal jatah nafas kita sudah ada kontrak dan jaminannya dihadapan Sang Pemilik Keagungan.

Semakin ironis kalo kita bekerja dilembaga kemanusiaan, tapi terdapat hal-hal yang tidak manusiawi, lalu kita mereingkarnasi diri sebagai hewan yang dicucuk hidungnya, dan kita sangat konyol ketika yang kita perjuangkan tidak sesuai dengan tindakanm nurani dan nilai nilai prinsip dan fundamental kita sebagai muslim. Bahkan kita justru dipaksa menghindari dari setiap kefundamentalan yang harus menjadi esensi tidak terpisahkan dari setiap bab dan jejak hidup kita sebagai muslim hingga akhir hayat. ya ini "GILA!"

Lebih jahat lagi, ketika dibalik semua itu penderitaan para fakir hanya menjadi sebuah komoditas jual beli. Terkapitalisasi dengan sebuah semangat fundrising, namun pada nilai implementatifnya disini ada area bisnis yang sangat jahat, lebih jahat dari kerangkeng mafia korupsi disekitar kita.

Diatas label "meringankan" beban fakir miskin, telah terkooptasi kepentingan dimana amanah menjadi tuntas hanya dengan formalitas implementasi yang bermuara pada bab menggugurkan kewajiban semata. oh tidak...dunia apa ini?

Secara saklek saya menulis setelah sebelumnya saya menolak penyatuan lembaga seperti ini oleh Badan Zakat Nasional (Baznas), setelah apa yang saya jalani selama 6 bulan ini, saya justru sangat mendukung program pemerintah untuk menyatukan semua lembaga zakat didalam satu tubuh dan kontrol. Wajar kalau banyak yang kebakaran jenggot dengan program pemerintah ini, apa mau dikata jika memang setiap harta kita ini milik Allah, kenapa harus takut kehilangan kecuali kalau disitu ada yang 'sesuatu banget' kalau boleh saya meminjam celetukan penyanyi bernama Syahrini.

Namun kopral ini telah menjadi jenderal atas dirinya sendiri, karena itu ia menolak menjadi sapi yang di cucuk hidungnya, lalu setelah itu bungkam ketika melihat kebatilan setelah perutnya membuncit dengan segala macam bentuk konsumsi yang berasal dari sumber abu - abu, bahkan bisa jadi lebih parah lagi.

Rumah Tanpa Jendela



Karena itulah, kembali ke rumah dimana jendelanya berdiri tegak tanpa batas. Dan ruangannya sebenarnya sama besar dengan ruangan hati kita. Saya memilih mundur dan kembali ke jalanan, rumah dimana saya selalu diajarkan arti hidup dan kemandirian yang sesungguhnya.

Dan satu fase kehidupan telah mendewasakan saya kembali, sekaligus menambah ketangguhan saya terhadap hidup. Dan anda benar, saya memang seorang kopral yang selalu merasa jenderal, sejak saya menolak jadi kacung dan penjilat demi untuk mendapat pujian para jenderal yang mental hidup dan prinsipnya lebih buruk dari seorang kopral.

Seorang kopral bermental jenderal sudah menguasai lapangan lebih dulu, sedangkan seorang jenderal bermental kopral jelaslah ia hanya hasil dari maha karya gila status, jabatan dan eksistensi. Seorang kopral bermental jenderal telah memiliki energi kemenangan sebelum ia dilantik menjadi jenderal. namun seorang jenderal bermental kopral...ia boomerang bagi batalyon.Para jenderal sejati mengerti bahwa mereka telah menjadi jenderal sebelum dunia mengakui mereka adalah seorang jenderal. kita adalah jenderal atas diri kita sendiri.

Ya sahabat, saya sudah pulang. Ke rumah tempat kita biasa bercanda tawa. Rumah tanpa jendela, rumah kehidupan, rumah dimana kita mengerti arti kemandirian sebenarnya. Disini dirumah ini, Kita berbisnis untuk menopang dana dakwah, bukan untuk membisniskan dakwah. Kita berbisnis untuk membayar zakat, bukan untuk membisniskan zakat.

welcome home Thufail....
Selengkapnya...

Photobucket