Karena Kita Tak Pernah Sendirian...

Share this history on :

Saat itu saya ingin sekali menikah. Kondisi sebagai mualaf dengan masa lalu cukup kelam dengan pergaulan yang sangat bebas membuat saya khawatir atas keistiqomahan tarbiyah islamiyah saya. Saya berdoa pada Allah memohon petunjuk, hingga saya memantabkan diri untuk berkomitmen menikah. Pemahaman syariat yang telah tertanam bahwa pacaran adalah haram membuat saya menolak semua celah yang memberikan saya ruang untuk mendekati zina.

Sayapun mengungkapkan ke ustad yang membina saya saat itu bahwa saya ingin menikah. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan dari tahun ke tahun. Saya tidak kunjung difasilitasi. Godaan nafsu terus merongrong, hingga saya mengaji pada seorang ustad dengan inisial K. Ustad yang memiliki gaya hidup sederhana ini sangat memahami betul keinginan saya untuk menikah saat itu. Namun benturan hafalan al quran dan kecurigaan terhadap latar belakang saya yang berasal dari keluarga Kristen fundamental membuat banyak pihak curiga dengan bermacam persepsi bahwa ada kepentingan inteligensi terhadap islam atas kehadiran saya di ranah dakwah islam ini.

Sebagai manusia tentunya sayapun punya keterbatasan untuk mengkondisikan rasa sedih saya. Hingga suatu saat saya kenal seorang perempuan yang mengagumi lagu lagu saya. Pada waktu yang tidak lama, saya langsung mencari tahu dimana ia tinggal. Panggil wanita ini Ukhti R, aktivis rohis salah satu SMA di Bekasi ini memang sangat open dengan pergaulan. Saya dikenalkan oleh kakak mentornya, sebut saja dia Akhi H. Namun begitu kagetnya saya ketika mengetahui bahwa ukhti R dan Akhi K ini memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman. Sayangnya niatan Akhi K menikahi ukhti R saat itu tidak mendapat restu. Permasalahan jadi semakin rumit ketika saya justru terjebak diantara pihak dari keluarga dari Ukhti R dan rasa cinta Akhi K ke Ukhti R.

Suatu malam, Ukhti R tidak mau pulang ke rumah karena kekesalannya pada orang tuanya. Ibunyapun menelpon meminta tolong saya untuk mencarikan. Dengan semua keterbatasan saya coba membantu, dan saya menemukannya. Saat itu adalah saya dan dia saja, saya merayunya pulang dan memotivasinya memaafkan orang tuanya. Bingung rasanya bagaimana cara memulangkan dia pulang kalau bukan dengan membonceng dia satu sepeda motor.

Ya Allah…saya semakin bingung, bingung dan bingung. Ayah perempuan ini yang sudah bercerai dengan ibunya tak dapat dihubungi. Semua orang di rumah perempuan ini juga perempuan semua. Akhirnya lepas saya berpikir saya suruh naik motor dengan hijab tas saya agar tidak bersentuhan. Diatas motor ia tidak mau pulang, ia berteriak kalau saya mengarah belok ke rumah ia akan melompat dari motor. Lalu saya mengikuti arah seperti apa yang dia mau. Semalaman saya ikuti kemana maunya dia laksana tukang ojek langganannya. Semua semata – mata sekedar membantu permintaan ibunya, hingga pagi hasil dari rayuan tak jera saya untuk meminta ia pulang akhirnya diiyakan.

Sayangnya suasana rumah sudah berbeda, ibunya yang meminta saya membantu mencarikan malah menyebarkan cerita saya membawa lari anaknya, memang sudah langsung saya klarifikasi pagi itu juga kondisinya dan sudah selesai kesalahpahaman. Namun saat itu saya yang mengaji di sebuah partai islam itu sudah terlanjur termakan fitnah. Keluguan ibu ukhti R ini yang mengatakan saya membawa lari anaknya ini sudah terlanjur tersampaikan ke Akhi K, lalu secepat itu menyebar ke komunitas masjid tempat dimana saya dan Akhi K ada dalam satu organisasi dakwah remaja dan sekolah. Luar biasanya lagi entah darimana berita ini telah sampai ke kuping guru saya ustad K dengan berbagai macam bumbu – bumbu tambahan dan semakin sedap untuk menyudutkan saya.

Sampai ketika saya beranikan diri untuk tabayun ke rumah ustad saya tersebut, beliau sudah tidak percaya lagi dengan semua yang saya katakan. Jadilah bentakan, amarah dan nasehatnya bercampur terungkapkan dengan lugas dan to the point. Amat sangat cukup membuat saya semakin terpuruk dan merasa bersalah. Tak ada keluarga atau orang yang benar benar bisa dijadikan fasilitator untuk tabayun saat itu. Hancurlah nama saya dengan ragam fitnah.

Hijrah adalah satu – satunya yang tersirat dalam otak saya. Saya benar benar meninggalkan tempat itu tanpa bekas. Bukan hanya berbulan bulan tapi juga bertahun tahun sampai hari ini saya tidak pernah lagi kembali ke tempat itu.

Di Pernikahan Ivan Awd Husni

Hari ini minggu (18/9) drummer band saya The Roots Of Madinah melangsungkan pernikahannya dengan Ajeng Yulianaz. Bahagia sekali mendengarnya. Saya selalu ingat bahwa band saya ini tidak bisa latihan di minggu sore karena Ivan selalu beralasan bentur dengan jadwal Mengaji.

Dan begitu mengagumkannya karena pada resepsi pernikahan tersebut saya bertemu dengan ustad K yang ternyata ia juga telah menjadi guru ngaji dari Ivan Awd Husni..subhanallah. kami berpelukan dan saya coba menahan rasa malu saya. Tanpa panjang lebar ustad langsung meminta maaf kepada saya. Saya bingung ada apa kok minta maaf? Lalu dia bercerita tentang kejadian dimana dia memarahi saya lalu sejak saat itu saya menghilang.

“ana selama ini nyariin antum, ada yang mau ana sampaikan” begitu salah satu kalimat yang saya ingat.

Namun setelah ia bercerita betapa runtuhnya diri saya. Ustad bercerita bahwa sekitar 4 bulanan setelah menghilangnya saya. Kakak dari ukhti R menelpon dia, dan berkata bahwa Ukhti R telah hamil diluar nikah, dan yang menghamilinya adalah Akhi H. beristigfar dan beristigfar dan beristigfar hanya itu yang bisa saya lakukan, selain menahan tangis yang hendak meledak. Ingin sekali memeluk ustad saat itu. Tapi kondisi resepsi Ivan yang ramai membuat saya lebih jaim untuk tidak hanyut dalam perasaan. Alhamdulillah Arif Attack gitaris The Roots Of Madinah muncul saat itu jadilah ada sedikit pengalihan untuk membicarakan hal lain.

Allah menjagaku…

Sudah kurang lebih 5 tahun lalu kejadian itu. Tak ada lagi yang perlu diingat. Memaafkan orang sebelum ia meminta maaf telah menjadi sebuah simpul kehidupan yang sebenarnya ia adalah skill hidup bukan orang sembarangan. Semua sudah terlupakan, karena sebenarnya kata maaf telah keluar dari hati yang ikhlas jauh sebelum saya bertemu ustad K. Saya pulang dari resepsi Ivan Awd Husni ke Masjid Agung Al Azhar untuk menjemput istri saya yang rutin mengaji setiap hari minggu disana. Saat bertemu istri dan si kecil rasa bahagia telah membuncah, walau secara manusiawi luka hati telah memberi tamparan untuk diri saya lebih berhati – hati dengan orang, bahkan ketika ia ada dalam satu label aktivis dakwah sekalipun.

Saya telah menjadi lebih kuat untuk berhadapan dengan fitnah. Saya telah terlalu biasa termakan gurita penikaman opini. Begitu indah perjalanan hidup ini dengan semua permasalahan di dalamnya. Masalah masalah ini justru membuat saya lebih matang dan lebih matang lagi. Faktanya disemua masalah dan perjalanan yang saya hadapi seperti hal – hal ini, benar benar membuat saya jauh lebih dewasa menyikapi suatu hal. Saya tidak perlu terlalu lama melihat ke belakang, karena istri dan anak – anak saya telah menjadi energi yang memotivasi saya untuk selalu melihat ke depan.

Justru pada hakikatnya, saya yakin semua kejadian itu terjadi karena Allah. Allah ingin saya menjadi pribadi yang kuat. Karena itu Ia mengarahkan saya untuk berjalan di arus yang lebih menantang yaitu berjibaku dengan hidup sendirian. Walau disisi lain saat itu ada amarah yang begitu kuat hadir. Dan semua itu telah mengajarkan saya menjadi lebih tanggu. Kejadian 5 tahun lalu itu telah membuat saya terhempas jauh dari jamaah dari ruangan yang sering disebut dunia dakwah.

Kejadian ini bukan hanya mengembalikan kelabilan saya, tapi juga membuat saya kembali ke jalanan, dan dari sinilah titik awal dimana pencarian saya akan ‘manakah harokah/organisasi Islam yang tepat dan benar?” di mulai.

Dari mengaji lingkungan partai islam hingga kalangan jihadi anti NKRI sudah pernah saya mampiri untuk belajar islam. Ragam warna dan pendapat, dan dalam ruangan ruangan perkumpulan itu rasa asing terus menghantui. Rasa tidak layak hadir diantara ‘mereka’ yang melabelkan diri aktivis dakwah. Bahkan rasa itu telah membuat saya sempat drop jatuh untuk mengakhiri eksistensi mikropon saya. Ah…tidak layak rasanya berada diatas panggung dengan orasi orasi keislaman yang kini telah bertentangan dengan hati nurani. Perasaan tidak pantas masuk ke level itu terus menghantui tahun demi tahun.

Namun dua hari sebelum hari resepsi pernikahan Ivan, tepatnya di hari jum’at Ustad Herry Nurdi mampir ke gerobak bisnis Es Pisang Ijo saya di Ciputat. Penulis muslim favorit saya ini bercerita banyak hal. Dan jika mau saya sandingkan kejadian fitnah lima tahun lalu ini dengan kehadiran Herry Nurdi di tempat bisnis saya, saya hanya bisa berkata ya Allah apalah artinya masa lalu, karena hari ini telah terlalu banyak nikmat yang Kau berikan dalam hidupku. Hari ini mungkin saya sudah tidak merasa lagi seorang aktivis dakwah, namun saya selalu ingat nasehat Hasan Al Banna sebelum dan sesudah kita sadari setiap muslim adalah seorang da’i.

Dari situlah saya berangkat untuk merubah paradigm, meninggalkan setiap panggung retorika dan memilih menetap di jalanan bukan untuk kembali kepada kejahiliyaan tapi lebih kepada melahirkan kekuatan baru dari mahakarya prestasi kehidupan yang berbasis amaliah bukan retorika. Selamat tinggal masa lalu…karena disini bermanfaat bagi orang lain adalah dakwah, dan tak ada kata manfaat kecuali ia dibangun dari basis kemandirian. Karena itulah kami yakin setelah aqidah dan ibadah, maka kemandirian adalah sebuah GERAKAN (HAROKAH).

Photobucket